Rabu, 16 Mei 2012

 Asa yang Tidak Pernah Padam
 
Anak-anak SD Inpres Wuroba membawa papan tulis dan kursi setelah mengikuti ujian nasional sekolah dasar di SD Inpres Walelagama, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (8/5). Kursi dan papan tulis tersebut untuk menambah inventaris sekolah mereka. Selama pelaksanaan ujian nasional, peserta dari lima sekolah dasar digabung di satu tempat untuk memudahkan pengawasan.
Oleh: B Josie Susilo Hardianto

Sekolah arigi weago aperage weago

Hat tago weti-weti, hagaramo nikitlasu a...o

An nogo worek-worek, hagaramo nikitlasu wae

hulu leka-leka, iawuraregoi a...o

werene leka-leka, tumawuraregoi wae..

”Sekolah sangat susah, sekolah benar-benar sangat susah. Saya sekolah banyak pengorbanan, kamu pun sekolah banyak tantangan. Kami sekolah di balik gunung, kami sekolah di balik danau,” kata Selinius Wetipo mengartikan lagu dalam bahasa Dani itu.

Dengan wilayah bergunung-gunung, lembah yang dalam, dan ngarai yang terjal, juga berhutan lebat, Papua memang memberi tantangan geografis yang ekstrem. Namun, setiap pagi, pada jalan-jalan setapak, tercetak jejak-jejak kaki anak-anak yang bergegas menuju sekolah-sekolah mereka. Tanpa alas kaki, mereka mendaki bukit berbatu dan menyusuri tanah berlumpur.

Semangat anak-anak di wilayah Pegunungan Tengah Papua untuk belajar sangat besar. Namun, harus diakui, sarana dan prasarana penunjang terbatas. Banyak sekolah dasar yang berada di kampung-kampung yang tersebar di lembah dan lereng pegunungan di sekitar Wamena belum memiliki cukup guru. Kalaupun ada, tak jarang, guru-guru itu tidak selalu hadir untuk mengajar.

Salah satunya di Jalelo, Distrik Assolokobal. Hampir setiap hari, SD Inpres Upiyagaima di daerah itu diasuh oleh Adin Lokobal, seorang tenaga honorer. SD yang terdiri dari kelas I hingga kelas III tersebut sebenarnya memiliki empat tenaga guru. Namun, keempat guru itu sering berhalangan.

Salah satu hambatan adalah para guru tersebut tinggal di pinggir jalan raya Wamena-Kurima yang terletak di lembah. ”Untuk mencapai gedung SD Inpres Upiyagaima, mereka harus berjalan kaki lebih kurang tiga jam dengan mendaki pegunungan,” ujar Arnos Asso, anggota Komite SD Upiyagaima.

Bangun rumah guru

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Hasuka Hisage mengakui kondisi yang memprihatinkan tersebut. Untuk itu, pihaknya tengah berupaya agar di sekolah-sekolah terpencil dibangun perumahan untuk guru.

Tahun 2011 telah dibangun 22 rumah guru. Pada tahun 2012 akan dibangun lagi sekitar 22 rumah guru, terutama untuk wilayah pedalaman.

Selain itu, kini juga sedang diupayakan peningkatan kapasitas para guru. Sasarannya tidak hanya mengembangkan kemampuan guru mengajar, tetapi juga empati mereka.

”Kapasitas personal sebagai pengajar penting,” kata Kepala Bidang Peningkatan Mutu Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Bambang Handoyo.

Dalam proses pendidikan, loyalitas dan panggilan menjadi seorang guru adalah sisi lain dari semangat anak-anak untuk belajar.

Namun, kondisi ideal itu tidak mudah diwujudkan di Papua. Tantangan alam dan keterbatasan sarana tidak hanya membatasi arus transportasi, tetapi juga informasi. Pendidikan di wilayah perkotaan berkembang karena akses terhadap transportasi dan informasi mudah. Kondisi di pinggiran dan pedalaman selalu berbanding terbalik.

Di SD Inpres Megapura, misalnya, satu buku pelajaran digunakan lima siswa. Meski demikian, bukan berarti semangat untuk mendampingi para siswa luntur.

”Kami tetap berupaya agar kualitas pendidikan terjaga,” kata Sih Asmoko yang telah mengajar di wilayah Jayawijaya sejak 26 tahun lalu.

Semangat serta niat kuat dari murid dan guru untuk menjadikan pendidikan di Papua berkembang adalah kunci keberhasilan. Hal tersebut akan makin berhasil apabila kesadaran orangtua untuk ikut mendukung anak-anak ke sekolah cukup optimal. Melihat Kelitus Wetipo dan Selinius Wetipo, siswa SD Inpres Megapura, belajar dalam remang cahaya lilin seolah memberi keyakinan dan harapan.

Di Wamena, konflik antara semangat untuk maju pada satu sisi dan keterbatasan fasilitas serta derasnya arus perubahan memunculkan ekses lain. Sejumlah anak usia sekolah menghabiskan hari-hari mereka di Pasar Jibama dan jalan raya. Baju lusuh, mata merah, dan mereka berjalan gontai karena keseringan menghirup uap lem Aica Aibon yang memabukkan.

Kelitus Wetipo tidak ingin seperti itu. Dia tekun belajar sebab ingin seperti kakaknya, Meriana Wetipo, yang saat ini mengecap pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Tak heran ketika Selinius Wetipo menyanyikan lagu berjudul ”Sekolah Arigi Weago” itu, Kelitus bertepuk tangan riang, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Olimpiade matematika
Lagu itu seolah mewakili semangat anak-anak muda yang tinggal dalam honai laki-laki milik Ruben Wetipo, tetua kampung adat yang berada di Walesi, Kabupaten Jayawijaya. Malam itu, meski hanya diterangi cahaya lilin, mereka menghabiskan waktu dengan belajar.

Cahaya sebatang lilin menjadi saksi betapa keras usaha mereka. Perih? Kelitus Wetipo, siswa kelas IV SD Santo Stefanus Wouma, Wamena, itu mengatakan, mata mereka telah terbiasa membaca dalam remang cahaya lilin. Tak ada keluhan.

Ruben Wetipo, tetua komunitas tempat honai laki-laki itu berada, dengan bangga mengatakan, dari honai itu telah dihasilkan delapan sarjana, di antaranya sarjana sosiologi dan filsafat. Dari honai kecil di pinggiran kota Wamena itu pula lahir pemenang lomba olimpiade matematika yang mewakili Kabupaten Jayawijaya. ”Saat ini, anak saya, Meriana Wetipo, menempuh pendidikan di Surya Institute (lembaga yang didirikan Prof Yohanes Surya),” ungkap Ruben.

Mereka mampu menjadi mandiri, memilih untuk menggunakan waktu dengan giat belajar meski dalam aneka keterbatasan. Seperti alunan lagu yang dinyanyikan Selinus Haluk, sekolah itu sangat susah, banyak tantangan, karena itu perlu kerja keras dan hanya dengan itu mimpi akan terwujud.

Sabtu, 12 Mei 2012

 SMK Nurul Huda Melahirkan Ahli Peternakan
 
Siswa SMK Agro Peternakan Nurul Huda di Desa Sindangmukti, Kabupaten Ciamis, menyeleksi telur ayam yang akan ditetaskan. Lulusan SMK ini menjadi incaran banyak perusahaan. Sekolah ini satu-satunya di Indonesia yang menitikberatkan kurikulumnya di bidang peternakan ayam.

HEADLINE NEWS - Berada di sentra peternakan ayam Jawa Barat tidak membuat generasi muda di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis, paham teknik pemeliharaan unggas yang baik. Akibat kondisi ekonomi, banyak lulusan SMP tak melanjutkan sekolah. Kehadiran SMK Agro Peternakan Nurul Huda memberi jalan keluar.

Ari Rinaldi (18), warga Kampung Maparah, Desa Maparah, Kecamatan Panumbangan, Ciamis, nyaris tidak bisa melanjutkan sekolah selepas lulus SMP dua tahun lalu. Penghasilan orangtuanya sebagai buruh tani terlalu kecil untuk membiayai sekolahnya.

”Katanya harus membayar Rp 100.000 per bulan untuk sekolah di SMA. Jumlah itu setara dengan rata-rata penghasilan orangtua per bulan,” katanya.

Akhirnya, ia mendengar ada Sekolah Menengah Kejuruan Agro Peternakan Nurul Huda. Sekolah itu dikabarkan menyediakan beasiswa.

”Semua biaya sekolah dibayar dengan beasiswa Rp 65.000 per bulan,” kata siswa kelas 11A ini.

Lain lagi dengan Kiki Kurniawati (17), siswa asal Kampung Cigintung, Desa Dadiharja, Kecamatan Rancah, Ciamis. Kiki adalah peserta program ”Satu Desa Satu Siswa”. Program ini mengharuskan desa membiayai seorang warga untuk sekolah menggunakan anggaran dana desa. Prioritas program ini adalah siswa tidak mampu tetapi berprestasi.

Kiki memilih SMK Agro Peternakan Nurul Huda karena ingin meningkatkan nilai tambah ternak ayam di desanya. Saat ini, masyarakat masih menjual daging atau telur saja. Padahal, banyak pengembangan yang diyakini mampu meningkatkan penghasilan warga.

Salah satunya, pembuatan roti hingga nugget dari telur dan daging ayam. Saat ini, ia sudah mahir membuat kue bawang dan nugget dan laku dijual di lingkungan sekolah.

”Selepas lulus, saya ingin pulang ke desa dan mengajak masyarakat mengembangkan potensi lain dari peternakan ayam,” kata siswa kelas 10A ini.

Putra daerah

SMK Agro Peternakan Nurul Huda didirikan tahun 2008. Salah seorang penggagas sekaligus Direktur SMK Agro Peternakan Nurul Huda Kuswara Suwarman mengatakan, sekolah didirikan untuk menampung siswa tidak mampu. Tujuan utama lain, memperkenalkan peternakan ayam modern kepada generasi muda Ciamis. Saat ini, 50 persen dari 240 siswa berasal dari daerah sentra ternak ayam, yakni Kecamatan Panumbangan dan Kecamatan Panjalu.

Ciamis adalah sentra utama peternakan ayam Jawa Barat. Sebanyak 8.000 peternak menghasilkan 400.000 ayam yang dikirim ke berbagai kota besar, seperti Jakarta dan Bandung.

Kuswara mengatakan, kegiatan belajar mengajar dibagi di dua kompleks. Kompleks pertama sekaligus gedung utama digunakan sebagai transfer materi dari buku di Desa Sindangmukti, Kecamatan Panumbangan, Ciamis. Adapun kegiatan praktik terpisah sekitar lima kilometer di Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu, Ciamis.

”Tahun ini ada tiga jurusan yang akan dibuka, yaitu agribisnis ternak unggas, teknik komputer jaringan, dan teknik kendaraan ringan,” katanya.

Di tempat praktik, siswa seperti memasuki perusahaan peternakan unggas. Siswa harus disemprot desinfektan saat masuk dan keluar kandang. Tujuannya menjaga kebersihan kandang dan menjamin tidak ada sisa aktivitas di kandang yang terbawa ke luar. Hal ini sesuai dengan standar kesehatan kandang yang diterapkan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).

Kandang tradisional dan modern disediakan untuk praktik. Hal itu di antaranya berbahan bakar pemanas kayu bakar, briket batubara, dan kandang bersirkulasi kipas.

”Saat ini baru ada jurusan ternak unggas. Kami sedang mengembangkan jurusan baru, yaitu bengkel ringan dan komputer peternakan. Selain itu, akan dibangun juga laboratorium kesehatan hewan, pascapanen, dan komputer peternakan tahun 2016,” kata Kuswara.

Diminati

Tidak hanya belajar di sekolah, siswa juga rutin berkunjung ke perusahaan peternakan ayam di Ciamis dan Tasikmalaya. Bahkan, siswa kelas 12 wajib magang di perusahaan ternak ayam selama tiga bulan. Tujuannya, membiasakan diri dengan irama dan suasana peternakan yang sebenarnya.

Dengan fasilitas dan sistem pendidikan itu, lulusan SMK Agro Peternakan Nurul Huda mulai menikmati hasilnya. Sebanyak 49 lulusan pertama tahun 2011, 90 persen di antaranya bekerja di berbagai perusahaan peternakan ayam di Pulau Jawa dan Kalimantan. Adapun 10 persen lainnya melanjutkan ke perguruan tinggi.

Hal itu berlanjut pada lulusan tahun 2012. Meski belum lulus, 66 siswa sudah diincar oleh beberapa perusahaan. Jumlah lulusan itu jauh dari total permintaan 88 orang. Mereka rata- rata bekerja sebagai penyuluh peternakan, tenaga pemasaran, dan komputerisasi manajemen perusahaan dengan gaji Rp 1 juta-Rp 1,8 juta per bulan.

”Lulusan kami belum banyak karena masih terkendala biaya operasional. Sebagian besar siswa berasal dari keluarga tidak mampu sehingga butuh beasiswa yang dananya kami cari dari kantong sendiri dan sedikit donatur,” kata Kuswara.

Kamis, 10 Mei 2012

Menghabiskan Masa Pensiun dengan Mengajar
 
 Asmiyati, pendiri PKBM An Nur, Lombok
LOMBOK - Pada mulanya Asmayati berniat menghabiskan masa pensiunnya di kampung halamannya, Desa Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sambil menikmati masa tuanya. Namun prihatin dengan kondisi masyarakat sekitar yang kebanyakan buta aksara, ia memutuskan berbuat sesuatu.

Asmayati, atau akrab disapa Yati, kemudian mengubah rumah pribadinya menjadi tempat kegiatan belajar membaca dan berhitung bagi warga sekitar. Di kemudian hari rumah itu dinamai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) An Nur.

"Waktu saya kembali dari Jakarta tahun 2007, semua warga di sini mengganggap saya orang kaya karena mengenakan tas bagus," kata Yati.

Ia mengungkapkan, keterbatasan ekonomi membuat warga di desa tersebut tak bisa mengenyam pendidikan. "Angka buta aksara masih tinggi. Banyak warga yang sudah berusia di atas 15 tahun yang belum bisa calistung," ungkapnya.

Yati kemudian menjadikan seluruh area rumahnya mulai dari halaman depan sampai belakang, kecuali satu kamarnya, sebagai tempat belajar puluhan warga sekitar.

PKBM An Nur kemudian berkembang pesat. Tidak hanya mengajarkan calistung di kelas Keaksaraan Fungsional (KF) Dasar pada masyarakat berusia di atas 15 tahun, PKBM ini juga menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). PKBM An Nur juga menyediakan koperasi simpan pinjam tanpa bunga khusus untuk setiap warga belajarnya.

Melalui kelas Keaksaraan Fungsional, setiap warga akan dikenalkan dan diajak mengenal huruf serta angka. Nantinya, setiap warga belajar dimungkinkan memperoleh Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) yang dapat digunakan sebagai tiket mengikuti KUM.

Di dalam KUM, setiap warga diajarkan berbagai keterampilan membuat aneka makanan yang dapat dijual untuk menambah penghasilan mereka seperti telur asin dan keripik.

Lokasinya yang tak begitu jauh dari pelabuhan Lembar, Lombok, juga menjadi magnet tersendiri bagi anak-anak marjinal yang putus sekolah dan terjerat dalam lingkaran narkoba. PKBM ini tak segan menampung anak-anak marjinal tersebut dan memberikan sejumlah fasilitas, salah satunya menyalurkan bakat melalui kesenian dan keterampilan bermain musik.

Namun, Yati juga berterus terang bahwa kegiatannya itu sempat mendapat penolakan dari sang suami yang berprofesi sebagai dokter di Jakarta. Apalagi karena ketiadaan ruang pribadi di rumah itu, sang suami terpaksa menginap di hotel setiap berkunjung ke Lombok.

"Sekalinya kita berkumpul, kita gunakan kamar tidur sebagai tempat makan. Ruang tamu saja kita tidak punya, semua disulap jadi area belajar," ujarnya.

Akan tetapi seiring waktu, akhirnya sang suami mulai terbiasa dengan kondisi rumah yang seperti itu. Kegiatan di PKBM terus berjalan bahkan terus mengalami peningkatan baik dari jumlah warga belajarnya maupun pengembangan materi pembelajarannya.

"Awalnya sempat jadi masalah, tapi setelah diberi penjelasan akhirnya suami saya mengerti. Saya berpesan, apalagi yang mau kita cari di usia yang sudah tidak muda lagi. Kegiatan ini memberikan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri," ungkapnya.

Senin, 07 Mei 2012

SMKN 2 Jepara, Mempertahankan Tradisi Ukir Kayu
 
Siswa SMKN 2 Jepara membuat ukiran kayu
Joni Prasetyo, siswa kelas XII program keahlian kriya kayu di SMK Negeri 2 Jepara, Jawa Tengah, sedang menyelesaikan ukiran kayu relief relung. Relief motif flora satu per satu ditatahnya dengan palu kayu dan 30 alat tatah aneka ukuran miliknya.

Bahan kayu jati berukuran 109 cm x 68 cm itu bisa diselesaikannya dalam dua bulan dan dijual dengan harga Rp 2,5 juta-Rp 5 juta.

Tangan Joni terampil menggerakkan tiga jenis alat tatah secara bergantian membentuk daun-daun dalam relief yang termasuk motif ukir khas Jepara itu. Meski begitu kesalahan sesekali terjadi. Ujung daun atau bunga yang patah sudah biasa ia alami.

”Motif daun paling susah. Kalau ada yang patah, tinggal dilem. Tidak akan kelihatan kalau sudah di-finishing pakai melamin,” kata Joni.

Joni dan siswa kriya kayu lainnya sudah mulai belajar desain dan mengukir kayu sejak kelas X. Selain relief relung dan relief Ramayana (dijual dengan harga Rp 4,5 juta), berbagai produk kriya kayu telah dihasilkan, seperti papan nama, kaligrafi, asbak, nampan, dan mebel. Lama pengerjaan untuk satu produk kriya kayu bergantung pada ukuran bahan dan kerumitan motifnya. Kaligrafi, misalnya, hanya membutuhkan waktu kira-kira satu minggu. Adapun untuk satu set mebel yang terdiri dari satu meja dan empat kursi bisa selesai dalam satu semester.

Sebelum membuat sebuah produk, siswa dituntut bisa merancang desain hasil pengembangan dari motif desain standar yang telah diajarkan.

Motif dasar

Maskuri, guru kriya kayu SMKN 2 Jepara, menjelaskan, selain pengenalan peralatan dan bahan, perancangan desain juga ditekankan dengan memperkenalkan 10 motif ukir dasar khas Jepara dan tradisional klasik Jawa-Bali. ”Unsur desain ini dulu yang diperkuat pada siswa. Dengan bekal kemampuan desain, siswa akan lebih mudah mengembangkan desain suatu produk,” kata Maskuri.

Sejak kelas X itu pula, proses pembelajaran menekankan sisi kreativitas siswa. Selain teori- teori, siswa juga menjalani waktu praktik minimal 14 jam selama satu minggu di tiga bengkel kerja yang tersedia. Setelah mendapat teori, siswa harus langsung praktik membuat karya dengan pendampingan dari 13 guru. Jika karya itu dinilai bagus, siswa disarankan bisa langsung menjual karyanya sebagai bagian dari pendidikan kewirausahaan.

Memasuki semester tiga atau kelas XI, siswa belajar membuat lemari. ”Di akhir semester empat siswa sudah terampil membuat mebel lengkap,” kata Suyoto, guru kriya kayu.

Penekanan pada unsur desain ini dilakukan setelah melihat tingginya permintaan industri kerajinan kayu terhadap yang ahli pada desain. Untuk Jepara saja, kata Suyoto, kebutuhan terhadap tenaga kerja siap pakai khusus pada desain sangat tinggi. Hasilnya, sebagian besar lulusan sekolah ini terserap habis di industri kerajinan kayu. Hanya sekitar 30 persen lulusan yang memilih menjadi perajin dan pengusaha industri kerajinan kayu.

Sentra ukir

Di Jepara terdapat paling tidak 3.995 unit usaha di bidang kerajinan mebel dan patung ukir yang menyerap 52.443 tenaga kerja. Data dari pemerintah daerah Jepara menyebutkan, di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, yang ditetapkan sebagai sentra patung dan ukir karena konon merupakan asal muasal ukir Jepara, terdapat 1.142 unit usaha mebel. Nilai produksi mebel dan patung ukir untuk desa itu saja per tahun mencapai Rp 3,5 miliar.

Selain memenuhi tugas praktik, siswa juga kerap membuat produk kriya kayu pesanan industri ke sekolah. Namun, tidak sebanyak seperti di era 1990- 2000-an ketika permintaan dari luar negeri masih tinggi, terutama dari Eropa dan Amerika Serikat.

”Meski industri kerajinan di Jepara masih eksis, tidak seperti dulu. Ini berimbas ke sekolah. Saat itu kami menerima siswa baru tiga kelas per tahun, sedangkan sekarang hanya dua kelas dengan 36 siswa per kelas,” kata Maskuri.

Kini sekolah lebih sering menerima pesanan dari dalam negeri dan sesekali negara-negara dari kawasan Asia, seperti China, Korea, dan Malaysia. Untuk pasar lokal dan nasional, bahan baku kayu jati lebih disukai. Sebaliknya, pasar internasional, seperti Eropa dan Amerika Serikat, lebih menyukai bahan kayu mahoni.

Terkait dengan ketersediaan bahan baku, untuk memenuhi kebutuhan praktik satu semester saja, dibutuhkan paling tidak lima kubik kayu, baik jati maupun mahoni. Kebutuhan terhadap bahan baku bisa lebih banyak jika siswa praktik membuat mebel.

Untung saja, kata Suyoto, bahan baku relatif mudah diperoleh karena Jepara secara keseluruhan memperoleh suplai bahan baku dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

Seni dan kerajinan

Sekolah yang berlokasi di Jalan RMP Sosrokartono No 1 Jepara dan berada di atas lahan seluas 44.214 meter persegi ini dahulu dikenal dengan nama STM Dekorasi Ukir.

Sekolah yang dibangun sejak 25 Mei 1979 ini merupakan lembaga pendidikan khusus SMK berbasis seni dan kerajinan dengan enam program keahlian, yakni kriya kayu, kriya tekstil, kriya keramik, kriya logam, tata busana/busana batik, dan animasi.

Posisi sekolah ini menjadi penting karena berakar dari kebutuhan untuk mengembangkan talenta masyarakat dan kearifan lokal Jepara yang mengantarnya menjadi sentra industri kerajinan ukir kayu.

Kepala SMKN 2 Jepara Sudarto memaparkan, sejak kelahirannya, sekolah telah ikut andil menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan talenta masyarakat Jepara.

Sejak pendidikan sistem ganda dengan konsep link and match dicanangkan tahun 1994, sekolah telah bermitra dengan industri mebel dan mendorong tumbuhnya desain-desain baru.

Alumni sekolah ini turut berpengaruh meningkatkan ekspor mebel Jepara antara lain dengan mengembangkan desain-desain baru. Memasuki era global, sekolah ditantang menyiapkan lulusan yang lebih berkualitas sesuai tuntutan industri, baik nasional maupun internasional, agar tidak kalah bersaing dengan negara lain.

Malaysia saja pada tahun 1970-1980-an pernah berguru seni ukir ke sekolah ini. Bukan hanya menerima siswa Malaysia, guru-guru sekolah ini juga kerap diundang untuk mengajar di Malaysia dalam kerangka kerja sama akademik dan pelatihan.

Pengakuan nasional dan internasional diperoleh sekolah karena serangkaian prestasi yang pernah diraih. Bukan hanya oleh kriya kayu, melainkan juga program keahlian lain, seperti kriya keramik, kriya logam, dan animasi yang baru dibuka dua tahun lalu (program keahlian termuda).

Minggu, 06 Mei 2012

Industri Incar Lulusan SMKN 1 Cibinong
Instruktur mengecek hasil kerja siswa program keahlian permesinan SMKN 1 Cibinong yang membuat komponen-komponen pesanan industri. Proses produksi langsung dikerjakan siswa untuk mengasah kompetensi mereka.

HEADLINE NEWS - Pesanan dari banyak perusahaan mengalir ke SMKN 1 Cibinong, Kabupaten Bogor. Di antaranya pesanan membuat beragam komponen mikroskop hingga otomotif. Para siswa dilibatkan memproduksi sekaligus mengasah kompetensi berstandar industri.

Kepercayaan beberapa perusahaan dengan menyerahkan produksi berbagai komponen industri ini membuat praktik siswa teknik permesinan di SMKN 1 Cibinong menggeliat. Bahan-bahan praktik siswa dipenuhi industri. Peralatan praktik, seperti mesin bubut, pun produktif.

”Siswa harus mampu mengerjakan sesuai standar industri. Permintaan berbagai perusahaan supaya produksi dikerjakan sekolah menunjukkan siswa mampu memenuhi standar industri,” kata Puji Cahyono, Kepala Kompetensi Teknik Permesinan.

Saat ini, 50 unit sarang zoom mikroskop multimedia yang terdiri atas lima komponen sudah dipesan. Kerja sama ini nantinya dilanjutkan untuk memenuhi belasan ribu mikroskop yang bakal disalurkan ke SMP dan SMA di berbagai daerah di Indonesia.

Sekolah juga mengembangkan pembuatan mesin pencacah daun berukuran kecil. Kapasitas mesin pencacah listrik ini hingga 100 kilogram. Ada yang besar kapasitasnya mencapai 700 kilogram.

Sekolah berencana menawarkan produk pencacah sampah buatan siswa itu kepada RT dan RW untuk mengatasi masalah sampah warga. Harga sekitar Rp 4 juta.

Pada waktu dekat, SMKN 1 Cibinong juga bakal digandeng PT Kawan Lama Sejahtera, penyedia alat-alat industri. Zaenal Abidin, Kepala SMKN 1 Cibinong, mengatakan, perusahaan ini akan memercayakan produksi beberapa komponen kepada sekolah. Di sekolah akan dibuat pabrik kecil.

”Penguatan teaching factory memang harus menjadi bagian penting di SMK. Kami coba kembangkan supaya semua program keahlian bisa menghasilkan produksi yang dipakai industri,” kata Zaenal.

Pada pengembangan pabrik sekaligus tempat belajar di SMKN 1 Cibinong, sekolah menyediakan beberapa ruangan di bagian depan sekolah untuk unit bisnis. Sekolah membuka bengkel mobil dan sepeda motor serta penjualan aksesori kendaraan untuk mewadahi potensi di jurusan otomotif. Untuk jurusan terkait teknik komunikasi dan informatika (multimedia, rekayasa perangkat lunak, dan teknik komputer jaringan), sekolah mengembangkan Yayasan TIK.

Pada bidang TIK, sekolah ini juga sering menggelar pelatihan penggunaan komputer, pemasangan internet, pembuatan desain web, serta produksi materi belajar secara multimedia dan pembuatan profil sekolah/lembaga.

Sertifikat internasional

Pengakuan kompetensi lulusan SMKN 1 Cibinong secara internasional juga dikejar. Itu untuk membekali alumni yang siap terjun di dunia kerja, baik di dalam maupun luar negeri. Hingga kini memang baru empat dari delapan program keahlian yang membekali lulusan dengan sertifikat internasional.

Oleh karena diakui internasional, lulusan di bidang otomotif serta teknik komunikasi dan informatika dari sekolah ini laris manis diburu industri di dalam negeri. Ini sangat membanggakan.

Menurut Zaenal, sebagai sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional, keunggulan sekolah ini dibuktikan siswa dengan mampu meraih sertifikasi internasional. Dengan pengakuan ini, kompetensi lulusan dari SMK diakui setara dengan negara-negara lain. ”Dengan bekal sertifikat internasional, peluang lulusan bekerja sebenarnya terbuka lebar dan bersaing,” katanya.

Pada bidang otomotif dengan program keahlian teknik kendaraan ringan, sekolah ini membekali lulusan dengan sertifikat internasional yang dikeluarkan Institute of Motor Industry (IMI) di Inggris. Sekolah ini ditetapkan sebagai tempat pengujian untuk mendapatkan sertifikat dari IMI dari tahun 2012-2014.

“Setiap enam bulan, pihak dari IMI Inggris mengaudit proses sertifikasi yang dilakukan di sekolah. Pokoknya, harus sesuai dengan standar mereka,” kata Dadan Supriatno, Kepala Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan Ringan.

Pihak IMI memberi kewenangan itu karena sekolah sudah memiliki tiga asesor yang merupakan guru otomotif. Berdasarkan informasi IMI, SMKN 1 Cibinong perwakilan pertama yang diberi ijin mengadakan ujian untuk sertifikasi IMI.

Sertifikasi ini memberi pengakuan kompetensi di bidang mekanik dan pemeliharaan yang telah dipelajari siswa selama tiga tahun di sekolah.

Sebenarnya, lanjut Dadan, permintaan tenaga kerja di bidang otomotif di luar negeri sudah datang dari Malaysia. Namun, siswa memilih bekerja di dalam negeri.

Pada jurusan otomotif, sekolah ini juga diikutkan dalam program Toyota Technical Education Program (T-TEP). Program Toyota ini memberi bantuan untuk peningkatan kompetensi guru praktik dan bahan ajar. Dari kerja sama ini, ada juga siswa yang direkrut untuk bekerja di perusahaan Toyota.

Sekolah ini pun diikutkan dalam program pintar bersama Daihatsu. Program ini membekali siswa dengan kemampuan versi Daihatsu.

Sekolah juga bekerja sama dengan B One Corp (PT Satu Visi Indocreative) sebagai pemegang lisensi untuk mengeluarkan sertifikat dari lembaga swasta di Amerika Serikat, Certiport. Lembaga ini memberi sertifikasi yang diakui di 100 negara untuk kompetensi penggunaan produk piranti lunak dari Microsoft, Adobe, dan Autodesk.

Pada tingkat lokal, keunggulan SMKN 1 Cibinong dimanfaatkan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk membuat kerja sama bidang pendidikan dengan China. Sebelumnya, sekolah ini juga berhasil bekerja sama dengan kampus di Thailand.

Kamis, 05 April 2012

Sidrotun Naim, "Si Dokter" Udang
 Sidrotun Naim, peneliti perempuan Indonesia peraih Loreal-UNESCO FWIS Internasional 2012.

Tambak udang menjadi mata pencaharian utama lebih dari 6 juta penduduk di wilayah pesisir Indonesia. Bahkan, udang menjadi salah satu komoditi ekspor terbesar bagi Indonesia dengan nilai lebih dari satu juta dollar Amerika di tahun 2010.

Akan tetapi pertambakan yang intensif membuat populasi udang rentan terkena penyakit. Salah satunya adalah virus Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) yang mampu membunuh hingga 70 persen populasi udang. Sayangnya informasi mengenai virus yang bisa menimbulkan penyakit pada udang ini masih sedikit.

"Masalah udang ini terasa sangat berat, namun ketika saya bekerja untuk rekonstruksi Aceh pasca tsunami pada tahun 2007, saya lihat belum ada satu pun orang Indonesia yang memiliki pengetahuan khusus mengenai udang yang bisa membantu mengatasi masalah ini," kata Sidrotun Naim (33), seorang peneliti.

Sidrotun pantas khawatir. Pada tahun 2006 hingga 2010, jumlah kerugian akibat serangan virus IMNV ini mencapai US $150 - US $ 200 juta; jika memperhitungkan peningkatan produksi, virus ini membuat Indonesia rugi hingga US $ 500 juta.

Perempuan lulusan dari Sekolah Ilmu Teknologi & Hayati Institut Teknologi Bandung yang kini merampungkan program Doktor di Universitas Arizona itu kemudian mendalami studinya mengenai aquatic animal disease.

Melalui teknik biologi molekuler, Sidrotun meneliti struktur dan fungsi genetis virus IMNV, bagaimana virus itu menyerang daya tahan tubuh udang serta pola penyebarannya terkait faktor eksternal seperti suhu air. Untuk studinya ia berada di bawah didikan ahli patologi udang terkenal di dunia, Donald Lightner.

Lewat penelitiannya, Sidrotun berharap dapat melakukan riset skala lapangan di Aceh dan Malang dengan pengenalan polikultur udang dan ikan nila. Sistem polikultur ini diharapkan dapat meminimasi resiko penyakit udang, meniadakan penggunaan antibiotik, meminimasi biaya pakan, memperbaiki pertumbuhan udang dan ikan nila, menghasilkan produk makanan laut berkualitas, dan meningkatkan kesejahteraan petambak.

Kontribusinya yang nyata dalam dunia sains dan keberlangsungan produksi sumber daya alam ini mendapatkan apresiasi tinggi dari dunia internasional. Bersama dengan keempat peneliti perempuan lain, ia mendapatkan penghargaan L'Oreal - UNESCO for Women in Science yang diumumkan di Paris akhir Maret 2012 lalu.

Dalam sebuah acara temu wartawan di Jakarta (4/412), Sidrotun mengaku bahwa ia termotivasi mengikuti program L'Oreal-UNESCO for Women in Science setelah mengetahui bahwa salah satu pemenang di tahun 2007 adalah dosennya sendiri di ITB, , Dr.Fenny Martha Dwivany.

Ketika ditanya apa kiat suksesnya, perempuan yang sebelumnya berhasil memenangkan L'Oreal National Fellowship pada tahun 2009 ini mengatakan kunci kesuksean yang telah ia raih hingga saat ini adalah komitmen.

“Kiat suksesnya adalah komitmen terhadap apa yang dikerjakan dan harus memiliki passion di bidang itu,” tegas ibu dari satu orang putera ini.

Ke depannya, ia memiliki harapan dapat berkontribusi lebih banyak terhadap perindustrian udang di Indonesia untuk bisa dikembangkan. Ia juga berharap lebih banyak perempuan yang berminat pada dunia penelitian.

Senin, 02 April 2012

SMKN 1 Pacet, Ubah Sisa Panen Jadi Keripik
Produk makanan ringan hasil olahan siswa SMKN 1 Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Daun sisa panen sering kali dijadikan sampah atau pakan ternak. Padahal, daun sisa panen bisa bernilai jual. Di tangan siswa SMKN 1 Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, daun-daun sisa panen diolah menjadi keripik, dikemas bagus, dan diberi merek Edutekpan.

Pacet dikenal sebagai daerah penghasil sayuran. Namun, saat panen melimpah, petani tidak menikmati untung karena harga jual merosot. Berangkat dari keprihatinan melihat nasib petani, sebagai sekolah menengah berbasis program keahlian pertanian, SMKN 1 Pacet mengembangkan kreativitas dengan memanfaatkan berbagai jenis daun sisa panen. Salah satunya, daun singkong yang terbuang saat panen raya singkong. Daun yang biasanya hanya dijual untuk sayur diolah menjadi keripik berbentuk bulat pipih dengan rasa mirip keripik paru.

Daun wortel pun yang biasanya dibuang atau menjadi pakan ternak diolah menjadi keripik. Keripik Edutekpan, kepanjangan dari edukasi teknologi pengolahan hasil pertanian, ini dikemas dalam kantong plastik 100 gram dijual Rp 7.000 per bungkus.

Pengolahan keripik dari dedaunan terus dikembangkan. Daun lokatmala yang tumbuh liar di daerah pegunungan dan sering kali tidak dimanfaatkan ternyata bisa dijadikan keripik renyah yang nikmat. Produk lain produksi SMKN 1 Pacet adalah keripik bayam, cheese stick bayam merah dan hijau, pangsit jamur, serta yogurt kedelai.

Semula keripik Edutekpan hanya dipasarkan siswa di sekitar Pacet dan Cipanas yang merupakan daerah wisata. Kini, keripik yang dikembangkan pusat bisnis Edutekpan sudah merambah Jakarta dan sejumlah kota lain. Kantin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) minta dikirim rutin. Setiap minggu dikirim beragam jenis keripik 100-150 bungkus. Keripik ini juga menjadi salah satu camilan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar acara mantu di Cipanas.

Dalam berbagai pameran di Jakarta dan kota-kota lain ataupun kunjungan sekolah lain atau masyarakat ke SMKN 1 Pacet, beragam keripik Edutekpan terjual habis. Di ajang pameran, siswa mengemas lima jenis keripik dalam tas didesain khusus. Dengan harga jual Rp 35.000- Rp 40.000, keripik bisa terjual hingga 200 paket.

Kantong plastik ataupun tas kertas untuk mengemas keripik diproduksi sendiri oleh siswa. Stiker Edutekpan didesain siswa program keahlian teknik komputer jaringan.

”Proses pengolahan dan pengemasan dilakukan di sekolah. Siswa bergiliran memproduksi keripik. Untuk tiap jenis daun, diproduksi keripik 5-10 kilogram per hari,” kata Wakil Kepala SMKN 1 Pacet Nandang Jauharudin.

Akib Ibrahim, Kepala SMKN 1 Pacet, menuturkan, sekolah mengembangkan sistem pembelajaran blok. Pembelajaran dilaksanakan selama tiga bulan khusus teori, tiga bulan berikutnya praktik lapangan.

Camilan sehat

Keripik daun singkong produksi SMKN 1 Pacet menjadi favorit masyarakat. Keripik ini diberi rasa seperti keripik paru. Tentu saja lebih sehat dan tidak mengandung kolesterol karena terbuat dari sayuran.

Cara pembuatan keripik daun ini sederhana dan bisa dilakukan dalam skala rumah tangga ataupun industri kecil.

”Kami ingin membagi pengetahuan dan keterampilan membuat keripik daun singkong ke berbagai kalangan supaya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, khususnya masyarakat di pedesaan,” kata Nandang.

Bahan baku utama untuk keripik daun singkong adalah daun singkong, tepung beras, tepung tapioka, dan telur. Daun singkong dicuci, direbus selama lebih kurang 15 menit, kemudian daun rebus dipotong-potong serta dicampur telur, tepung tapioka, tepung beras, dan bumbu.

Adonan dimasukkan dalam kantong plastik bulat panjang dan dikukus selama 30 menit. Setelah dingin, adonan dipotong tipis dengan ukuran yang sama, digoreng, lalu dikemas.

Pertanian hidroponik

Sekolah yang mendapat dukungan antara lain dari pengusaha Bob Sadino ini juga mengembangkan pertanian modern dengan sistem hidroponik. Tanaman seperti terung, paprika merah, kuning, dan hijau, serta tomat cherry dikembangkan untuk memenuhi permintaan pasar modern di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Penanaman secara hidroponik ini melibatkan siswa dengan program keahlian budidaya tanaman pangan dan hortikultura. Produksi dilakukan secara rutin karena sekolah memiliki kerja sama dengan beberapa perusahaan pemasok hasil pertanian ke pasar modern.

Untuk keperluan pertanian itu, di sekolah ini ada tiga ”rumah kaca” yang dibangun dari rangka bambu dan atap plastik.

Usep Munawar, pembimbing praktik industri dan pengelola hidroponik SMKN 1 Pacet, mengatakan, produksi tanaman pangan dan tanaman hias dari sekolah ini sudah masuk ke sejumlah supermarket besar.

”Kepercayaan dunia usaha memakai produksi pertanian hidroponik kami sudah ada. Namun, sekolah tidak bisa memenuhi semua permintaan,” kata Usep.

Demi menjaga pasokan ke perusahaan pemasok hasil pertanian, sekolah mengembangkan kemitraan dengan 20 petani di Pacet. Para petani diminta menghasilkan tanaman sesuai standar yang ditetapkan supermarket.

Kerja sama dengan petani memberikan keuntungan lain. Para siswa bisa sekaligus praktik bersama petani untuk menghasilkan produksi pertanian.

Sekolah ini juga memiliki hotel yang memanfaatkan kawasan pertanian. Ada 10 kamar yang tersedia untuk wisatawan. Fasilitas ini dikembangkan siswa dari program keahlian perhotelan dan tata boga.

Pusat pelatihan

Kemampuan SMKN 1 Pacet mengembangkan diri menjadi sekolah menengah pertanian membuat banyak pihak melirik potensinya. SMKN 1 Pacet yang berdiri tahun 2004 semula berupa sekolah kecil dalam waktu singkat menjadi salah satu SMK pertanian unggul di Indonesia.

Sekolah pun membagi pengalaman membangun keberhasilan pendidikan pertanian. Dalam sebulan, ada 4-5 kunjungan dari berbagai pihak ke sekolah ini. Belum lagi permintaan pelatihan-pelatihan terkait dengan pertanian ataupun manajemen sekolah.

Nandang mengatakan, pelatihan pembuatan keripik daun dan pertanian hidroponik banyak diminati. Yang terbaru, pihak sekolah melatih 55 pegawai Kementerian ESDM yang hendak pensiun untuk bisa berwirausaha. Selain itu, ada sejumlah SMK, organisasi perempuan mulai dari kelompok PKK dan pengajian, serta karang taruna.

Sekolah ini juga memiliki kerja sama dengan guru-guru SMK di Kepulauan Natuna sejak tahun 2010. Para guru di Natuna rutin datang untuk menimba ilmu mengembangkan SMK di wilayahnya.

Lulusan sekolah ini tiap tahun terpilih untuk ikut program magang pertanian ke Jepang. Prestasi kerja lulusan SMKN 1 Pacet di Jepang selama ini cukup bagus sehingga pihak Jepang terus memberi kesempatan magang.

Kewirausahaan pertanian yang dikembangkan sekolah ini membuktikan bahwa pertanian sesungguhnya memiliki nilai jual dan patut dikembangkan Indonesia sebagai negara berakar agraris.